Ditunggu 4 Jam, Singgah 10 Menit, tak Membantu
Mensos Salim Segaf Aljufri Membesuk Ferida, Korban Pembantaian Ibunya
Nasib kurang beruntung yang dialami Ferida Nduru memantik simpati. Tak terkecuali Menteri Sosial Salim Segaf Aljufri yang membesuknya kemarin. Namun Salim ’ogah’ memberi bantuan karena menganggap kisah tragis bocah perempuan yang lehernya nyaris putus itu tak ada kaitannya dengan kemiskinan.
Chairil Hudha, Medan
Sejak pukul 10.00 WIB wartawan telah menyemut di RSU St Elisabeth, Jalan Haji Misbah, kemarin (12/1). Mereka menunggu kedatangan Mensos, Salim Segaf Aljufri. Pasalnya pada pukul 11.00 WIB, pembantu Presiden SBY itu bakal menjenguk Ferida Nduru (7), bocah asal Nias yang menjadi korban kekejaman ibunya yang dirawat di rumah sakit tersebut. Suasana tambah ramai saat petugas protokoler dan aparat keamanan turun ke lokasi, plus petugas dari Pemprovsu dan Pemko Medan.
Tepat pukul 11.00 WIB, Mensos tak muncul. Satu jam kemudian pun, Mensos pun belum kelihatan. Wartawan yang lelah menunggu pun berserak, demikian juga dengan petugas yang mengawal kedatangannya. Padahal sejak pagi pihak rumah sakit telah membenahi ruang perawatan Ferida serapi mungkin. Ayah korban, Talizanolo Nduru, juga sengaja dihadirkan dari Nias. Setelah menunggu dua jam Mensos tak datang juga, pertanyaan dari wartawan, petugas dan pengunjung rumah sakit pun ’meletus’. “Jadinya Pak Menteri datang?” kata seorang pengunjung.
Akhirnya setelah ditunggu selama empat atau tepat pukul 15.00 WIB, Mensos dan rombongan tiba. Didahului petugas pengawal, Mensos turun dari mobil jenis sedan Mercy berplat RI 32. Di belakangnya terlihat Wagubsu Gatot Pudjo Nugroho, Pj Wali Kota Medan Rahudman Harahap dan sejumlah pejabat lainnya, baik dari Departemen Sosial dan Dinas Sosial Pemprovsu serta Kota Medan.
Begitu turun dari mobil, Mensos langsung dipandu menuju ruang Santa Thresia, tempat Ferida dirawat. Wartawan pun langsung menyemut, begitu juga pengunjung rumah sakit. Ruang Santa Theresia yang awalnya hening, tiba-tiba ramai. Tangisan melengking terdengar. Mungkin karena takut melihat banyaknya orang yang datang ke ruang perawatannya, Ferida menangis sekuatnya.
Tangisan Ferida tak begitu lama. Dia berhasil ditenangkan ayahnya. Mensos terlihat tertegun melihat kondisi Ferida. Kemudian petugas menceritakan kondisi Ferida kepada Mensos, juga cerita pilu yang dialaminya dan empat saudaranya yang lain. Mensos mendengarkan dengan seksama saat petugas menceritakan bahwa tiga saudara Ferida yang lain, tewas dalam pembantaian yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri.
Mensos kemudian menyempatkan diri bercengkeramah dengan ayah korban, Talizanolo Nduru. Beberapa pertanyaan pun disampaikannya. Sayang, pertanyaan itu tak berjawab. Talizanolo hanya manggut-manggut, dan diam. Pasalnya, Talizanolo hanya bisa berbahasa Nias, tak bisa berbahasa Indonesia.
Sepuluh menit di ruang perawatan Ferida, Mensos dan rombongan pun keluar. Tapi sebelum meninggalkan rumah sakit, Mensos sempat menggelar konferensi pers. Kepada wartawan Mensos menceritakan kembali kronologis terjadinya pembantaian yang dialami Ferida dan saudara-saudaranya. Apa yang disampaikan Mensos kemungkinan merupakan replay dari staf atau mungkin juga dari pejabat di Medan.
Kepada wartawan Mensos mengatakan, pihaknya tak bisa memberikan bantuan kepada Ferida. Pasalnya, penyebab pembantaian itu adalah pertengkaran suami isteri. “Bila persoalannya kemiskinan, kita bisa diberikan bantuan. Sedangkan ini kita lihat akibat adanya pertengkaran antara ayah dan ibunya,” katanya Mensos. Dia melanjutkan, departemen yang dipimpinnya bisa memberikan kepada persoalan yang berkaitan dengan kemiskinan. “Tapi karena sebabnya bukan itu, kami tidak bisa memberikan bantuan,” tandasnya.
Mensos dan rombongan kemudian meninggalkan RSU Elisabeth. Tak ada bantuan sepeser pun yang diterima Ferida atau ayahnya dari Mensos, juga dari pejabat Pemprovsu atau pejabat Pemko Medan yang mendampinginya. Sejauh ini menurut Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) yang mendampingi Ferida, sama sekali tak ada bantuan dari pemerintah.
Seperti diberitakan koran ini sebelumnya, akar dari pertengkaran ayah dan ibu Ferida adalah persoalan kemiskinan. Pertengkaran itu terjadi karena Talizanolo yang hanya buruh deres karet, ingin merantau untuk mengubah nasib. Karena penghasilannya hanya Rp200 ribu sebulan. Mereka juga tak memiliki rumah yang layak. Rumah mereka beratap dan berdinding daun rumbiah serta berlantai tanah.
Perwakilan PKPA, Azmiati Zuliah membeberkan, saat ini pihaknya menghadapi masalah biaya perobatan Ferida, termasuk biaya dari rumah sakit belum diketahui akan dicari dari mana. Pihaknya telah berkoordinasi dengan Pemprovsu melalui Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tapi sampai saat ini belum ada keputusan, ketika dikoordinasikan ke Dinas Kesehatan Sumut juga belum ada jawaban. “Saya juga sudah bicarakan ini ke Mensos, tapi tanggapannya belum ada. Jadi harapan kami, ada yang membantu biaya rumah sakitnya,” bilangnya.
Kondisi Ferida setelah empat hari di RSU Elisabeth, masih kritis, meski telah lebih baik dari kondisi sebelumnya. Humas RS Elisabeth dr Alfred C Satyo memperkirakan, Ferida masih akan dirawat hingga satu bulan ke depan, karena masih harus menjalani perawatan penumbuhan pembuluh darah. (*)
http://www.hariansumutpos.com/2010/01/ditunggu-4-jam-singgah-10-menit-tak-membantu.html